This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 02 Desember 2020

TENTANG BERSYUKUR

 “Yah, hujan!”

“Mana becek banget lagi.”

“Huh! Panas banget.”

 “Ini matahari ada tiga kali ya!”

Pernah nggak kamu mengucapkan kalimat itu? Sadar atau tidak mungkin sesekali sempat berucap. Aku sendiri pernah. Rupanya aku masih sering mengeluh dengan keadaan hidup yang sedang dijalani. Seringkali aku bertanya pada diriku, keluh kesah yang senantiasa terucap, adakah terbesit dalam pikiranmu bahwa Allah tak menyukai hal itu? Duhai diri, adakah sadar muncul dalam hatimu kala mengumpat apa yang Allah beri?

Saat langit mendung dan kemudian hujan turun. Lisan pernah berucap: Kenapa hujan sih kan aku mau berangkat sekolah? Padahal aku sedang ada di dalam rumah. Yang mana, aku bisa segera mencari jas hujan atau sabar menuggu reda. Bila diingat, malu rasanya. Bagaimana kelak aku bertanggungjawab atas kalimat itu di hadapan Allah?

Dalam keadaan seperti itu aku masih saja mengeluh. Meskipun sesekali terlintas dalam benak dan pikiranku. Pada mereka yang kedinginan lantaran tidak membawa jas hujan. Pada mereka yang sedang berjualan di tepi jalan atau pada mereka yang tidur beralaskan tanah dan beratap langit.

Ketika musim panas, suhu udara amat tinggi. Saat itu, aku sedang berada di pusat perbelanjaan modern yang difasilitasi air conditioner (AC). Selepas berbelanja, aku keluar menuju parkiran. Dan lagi, aku mengeluh dengan panasnya hari itu. Padahal seharusnya aku bersyukur karena dengan cuaca cerah ini jemuranku yang di rumah bisa segera mengering. 

Ya Rabb, banyak sekali keluhan yang kuucap. Maafkan diri ini, Ya Ghofur.

Sekarang aku mengubah pola pikirku. Siang yang panas menyengat adalah rezeki bagi orang lain. Pun sebaliknya, derasnya hujan pun adalah rezeki bagi siapapun.

Ya Rabb, maafkan diri yang tak memahami tanda-tanda kebesaran-Mu. Lisan yang lebih sering terlontar kalimat ‘Andai’. Ternyata membuka pintu setan masuk ke dalamnya. 

Mungkin Belum Waktunya

Akhirnya aku berpikir demikian...

Setelah beberapa kali rasa insecure seringkali mampir. Hadir ketika melihat postingan teman-teman yang bagiku sudah sukses. Dan itu terjadi berulang kali. Rasa percaya diri seketika memudar, bercermin pun seolah hanya sekadar saja. Menatap lalu berkata: Aku kapan seperti mereka?

Bukan main rasanya bagaimana berkali-kali aku berusaha memunculkan rasa percaya yang besar. Kembali tegar ketika pikiran mulai larut dengan kata-kata yang tak semestinya ku ucapkan. Belum lagi sugesti negatif yang jua ikut menyapa.

Wajarkah perasaan itu muncul? 
Rasa iri (Naudzubillahi min dzalik semoga tak lagi bersemayam di diri ini).

Sepertinya memang hijrah sesungguhnya mesti melalui hati dulu.
Aku terlalu sibuk membenahi penampilan dan lupa membersihkan hati huhuhu.
Sibuk membedaki raga, tapi lupa memberi nutrisi pada jiwa.

Sampai akhirnya aku berpikir,
"Kok ya bisa-bisanya aku sibuk memikirkan orang lain?"

Duhai diri, ternyata hatimu tak sebening embun pagi. Disana masih ada noktah hitam yang menyelimuti.

Dan ah iya...
Aku teringat dengan kata-kata mashyur Ali bin Abi Thalib ra.,"Aku tak sebaik yang kau pikirkan, namun aku tak seburuk yang ada di pikiranmu."
Orang melihatku baik, padahal itu karena Allah yang Maha Baik menutup aibku


Qadarullah, Allah menyadarkanku dengan postingan seseorang (mohon maaf lupa nama pemostingnya). Kurang lebih beliau menuliskan bahwa kehidupan dunia maya sebetulnya tak benar-benar adanya. Kita tidak bisa menghentikan aktivitas selancar mereka di dunia maya, terlebih instagram. Tapiii..., kita bisa banget memfilter semua itu. 

Filter.. iya 'menyaring' hehe.

Selama ini aku menumpuk semua kejadian di satu tempat: pikiran. Yang Qadarullah berefek ke fisik. Sakit yang menyapa diri, menyadarkanku bahwa setiap orang punya rezekinya masing-masing. Lewat kejadian itu, aku belajar untuk menahan diri dari nafsu duniawi, aku belajar untuk tak iri dengan rezeki orang lain, aku belajar untuk menerima apa yang Allah beri.

Ridho bahwa apa yang terjadi dalam hidup ini sudah menjadi skenario terbaik untukku.
Memang pada awalnya aku tak menerima, tapi lambat laun Al-Latif dengan ke-Maha Lembutannya menyentuhku dengan firman-Nya; "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu padahal itu buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui."

Kesalahanku adalah mengukur kesuksesan dengan tolok ukur duniawi.
Padahal, orang-orang yang berhasil dalam akhiratnya itu justru sangat menginspirasi.
Ya, mereka yang sukses membenahi hatinya dengan terus berdzikir mengingat Allah. yang jika bersedekah tak menghitung nominal, bahkan yang salat malamnya tak pernah tertinggal.

Akhirnya aku berpikir demikian.