Sahabat
Sahabatku, sejenak rehatlah dari
penat-penat menjerat,
dengarkan pelukan rindu nan
menggebu seru,
sementara mengajak semesta mengeja
kata, menguntai do’a.
Seseorang dianggap sahabat biasanya
karena memiliki keakraban berbeda dengan yang lain. Boleh jadi sudah merajut pertemanan
dalam kurun waktu cukup lama. Sehingga tercipta sebuah hubungan dan kemudian
dinamakan persahabatan. Setelah orangtua, dengan sahabatlah kita sering
menghabiskan waktu liburan.
Sahabat ibarat rumah kedua, bersedia
mendengarkan cerita bagi kita yang baru tiba dari perantauan. Adanya kedekatan
inilah seseorang dapat mengenal satu sama lain. Mengetahui benar bagaimana
tingkah laku dan sifat sahabatnya. Sehingga komunikasi ini dapat membantu seseorang
menjadi orang yang lebih baik. Sebab selain dituntut menjaga keburukan sesama. Kita
pun belajar menciptakan ukhuwah dalam persahabatan.
Seperti halnya jalinan rumah tangga,
seseorang membutuhkan kepercayaan dan dipercaya. Bagaimana hubungan dapat
berjalan lama tetapi sekadar titik percaya pun tidak timbul? Ibarat ada orang menginginkan
fondasi rumah yang kuat. Tetapi, Ia hanya membangunnya dari bilah bambu dan
kayu.
Jika kita merindukan sahabat, apa
yang akan kita lakukan? Merencanakan pertemuan? Atau terbenam mengingat memori
lampau? Merindukan masa kecil bukan perkara biasa. Sebab semakin usia menumbuh
amanah tidak kian menjauh. Ia mendekat rekat, bukan sekadar ucapan melainkan
perlu tindakan.
Mari
mendefinisikan apa itu sahabat,
lewat
peristiwa yang melekat erat dalam benak,
ketika
diri kita diliputi kegundahan menginginkan persaudaraan yang sehat,
persahabatan yang berada dalam keridoan-Nya.
persahabatan yang berada dalam keridoan-Nya.
Sepenggal kisah mengenai esensi
rindu pada perputaran waktu. Bagi kita yang sejak kecil sudah dibina dalam
lingkungan agamais pasti begitu merindukan suasana religi di ruangan kecil nan
mulia. Tempat mengkaji ilmu agama. Tempat menuai berkah dari para ustaz dan
ustazah. Menghafal hadis dan ayat-ayat pada juz amma.
Menggali akidah, menjadi pengharapan
supaya kita menjadi manusia berakhlak. Mempelajari fiqih, menjadi asa mengejar
ketertinggalan pada hal-hal kecil yang biasa disepelekan. Baik tentang berhadas
besar maupun kecil.
Mendengarkan sirah nabawiyah,
mengajak tenggelam pada situasi ketika para guru menyampaikan cerita para nabi
dan rasul-Nya. “Anak-anak, Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam memiliki empat
orang sahabat yang selalu mendukung dakwah beliau hingga akhir hayatnya. Sosok
pertama, sahabat yang tidak lelah berkata benar. Sahabat Nabi saw ini terkenal
dengan kejujuran dan sifatnya yang bijaksana. Beliau juga salah seorang
pedagang yang adil. Siapakah dia? Dia adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq radiallahu anhu.
Sahabat yang kedua adalah sosok
pemberani dan tegas. Ia pernah mendatangi rumah penduduk demi melihat keadaan
rakyat yang sebenarnya. Ia rela memikul gandum untuk rakyat miskin. Siapakah dia?
Dia adalah Umar Bin Khattab radiallahu
anhu.
Berlanjut pada sahabat Nabi saw yang
ketiga, ialah sosok yang terkenal dengan kedermawanannya. Harta kekayaan beliau
banyak namun dilimpahkan untuk kemaslahatan umat Islam, beliau adalah Utsman
bin Affan radiallahu anhu. Dan sosok
yang terakhir adalah seorang pemuda yang terkenal dengan kecerdasan dan
keluasan ilmu pengetahuannya. Ia adalah sahabat sekaligus menantu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapakah
dia? Dia adalah Ali bin Abi Thalib radiallahu
anhu.”
Salah satu wujud dari persahabatan
adalah bentuk kebaikan. Persahabatan adalah Abu Bakar Ash Shiddiq ra., yang
rela mendampingi Nabi Muhammad saw dalam suka dan duka. Melindungi beliau dari
ejekan dan pembunuhan yang direncanakan oleh kafir Quraisy. Persahabatan adalah Umar bin Khattab ra.,
dengan watak keras dan tegasnya menjadi pembela umat islam. Beliau sosok
kritikus yang seringkali memprotes kebijakan Nabi Muhammad saw yang dianggap
tidak rasional. Beliau mampu membedakan yang hak dan batil. Sehingga Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
gelar dengan sebutan Al-Faruk yakni Sang Pembeda.
Adalah Utsman bin Affan, seorang penderma
20.000 dirham untuk menggali mata air demi kepentingan umat. Kekayaannya
diperuntukkan mengembangkan Islam dan mendukung dakwah Nabi saw. Dan persahabatan
adalah Ali bin Abi Thalib ra., yang berani mempertaruhkan nyawa demi
melancarkan hijrah Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan berbaring di tempat tidur beliau ketika rumah Nabi saw dikepung
kafir Quraisy.
Kita memiliki banyak teman yang tak
terhitung dengan jemari. Tetapi, hakikatnya hanya satu atau dua orang yang ada
bagaimanapun keadaan kita. Kita mampu mendapati banyak pujian, tetapi sahabat
berani melontarkan kritik demi kebaikan.
Mereka adalah orang yang dipilih-Nya
menuntun kita tetap di garis kebajikan. Jangan khawatir! Sahabat bukan soal
kuantitas. Kita bisa memilih. Banyak tapi menyesatkan atau satu yang setia
mengajak kebaikan?
“Perumpamaan
kawan yang baik adalah seperti orang yang membawa minyak wangi di mana meskipun
ia tidak memberi minyak wangi itu kepadamu, niscaya kamu akan mendapatkan
baunya yang harum. Sedangkan perumpamaan kawan yang jahat adalah seperti tukang
pandai besi di mana bila ia tidak membakar bajumu maka kamu akan kena asap
apinya.” (Abdullah
bin Mas’ud ra.)
Bunga dan kupu-kupu. Keduanya
sama-sama mendapati keuntungan. Bunga terbantu dengan kupu-kupu yang hinggap di
kelopaknya. Dengan kehadiran kupu-kupu terjadilah proses penyerbukan. Begitu
juga dengan kupu-kupu yang beruntung bisa menyerap nektar dari bunga. Inilah bentuk persahabatan flora dan fauna. Sebuah
interaksi yang mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Jangan sebagai benalu yang
diuntungkan karena mendapat air dan mineral dari inangnya. Sehingga sang inang
terhambat proses pertumbuhan dan perkembangan sebab hasil serapan akarnya
digunakan oleh benalu. Berteman boleh dengan siapa saja. Tetapi hendaknya kita selektif dan bijak dengan
melihat siapa-siapa yang ada sebagai penikmat canda namun hilang ketika duka.
Ada seseorang yang sudah lama tak
ada kabar, tiba-tiba datang karena ia ada butuh. Ada pula yang mengulurkan
tangan ketika kita tersungkur jatuh. Sahabat tidak melihat bagaimana rupa,
harta dan pangkat. Sahabat hanya memandang, bahwa ada dirinya di mata kita.
Meskipun secara raga sudah tak pernah bersua.
Saat paling bahagia adalah ketika kita
menjadi alasan seseorang tersenyum. Orang yang demikian sama halnya pada pohon
yang tengah berbuah. Orang-orang senang melihatnya. Ketika kita menjadi
prioritas seseorang. Jadilah pendengar yang tenang menangkap curahan hati
mereka.
Sampaikan
kabar gembira pada petang,
meskipun
ia datang sekejap,
tapi
detik-detik kemunculannya, ditunggu banyak orang.
Begitu
pula pada ribuan gemintang,
bergelayutan
genit di cakrawala,
menemani
penikmat langit, melepas kerlip-kerlipnya.
Sekali lagi, persahabatan bisa
bertahan bila ada kepercayaan. Percaya menjadi bagian atau perantara memecahkan
persoalan. Persahabatan pun tak melulu mulus. Akan ada situasi di mana
kesalahpahaman terjadi. Dari situ, diujilah kedewasaan keduanya. Bila egois
mendominasi keadaan. Coba keluar walau sekadar meratap langit atau menembus
kesunyian di sela-sela lambaian daun.
Pertengkaran merupakan salah satu
ujian persahabatan. Adakah keduanya mampu lulus? Dengan mengalahkan ego-lah, kita
memperoleh pelajaran baru dari sebuah universitas kehidupan. Selamat menikmati
persahabatan sehat nan taat pada syari’at. Selamat menggapai impian menjadi
sahabat sejati dalam hidup seseorang.
Yulia Nila Cahya, perempuan
kelahiran kota Bahari ini memiliki ketertarikan di dunia kepenulisan sejak awal
SMA. "Ku
akhiri dengan Move On” adalah karya pertamanya yang dikompetisikan
dalam lomba bulan bahasa di SMA
pada tahun 2012 silam dan berhasil menjadi juara 1. Beberapa kali sempat
berkontribusi dalam antologi cerpen dan puisi. Tahun 2015, antologi cerpen
pertamanya berjudul Para Pencari Lailatul Qadar sedangkan puisi berjudul Lelaki Tanpa Nama (2016) dan Tamu (2017). Di Balik Diammu, Ayah (2015) menjadi antologi
cerpen keduanya. Menyukai bidang astronomi dan apa pun yang berhubungan dengan
fonemena alam semesta. Belajar astronomi dianggapnya sebagai wadah mentadabburi
kebesaran Allah Ta'ala.